JAKARTA, mimbarnasional.com – Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) melaksanakan tugas dan fungsi legislasi untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Dalam menjalankan fungsi legislasi tersebut, Komite II DPD RI bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah untuk melakukan pembahasan pada Perubahan Keempat atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang dilaksanakan sejak Rabu, 12 Februari 2025 dan memfinalisasikannya pada Senin, 17 Februari 2025 di Ruang Badan Legislasi, Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta Pusat.
Rapat Finalisasi RUU dihadiri Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi DPR RI, Menteri ESDM, Menteri Hukum, Wakil Menteri ESDM, Wakil Menteri Sekretariat Negara (Setneg), dan jajaran pejabat dari Kementerian ESDM dan Kementerian Hukum.
Pembahasan RUU pertambangan minerba dilakukan bersama Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk oleh Badan Legislasi DPR RI untuk membahas secara intensif ayat-ayat serta pasal-pasal yang termuat dalam RUU ini untuk dapat menyempurnakan ayat/pasal secara redaksional.
Panja membentuk Tim Perumus/Tim Sinkronisasi (Timus/Timsin). Pada tanggal 17 Februari 2025, Timus/Timsin telah menyelesaikan penyempurnaan redaksional dan telah menyampaikan kepada panja naskah RUU tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan (IUP), serta keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat adat menjadi fokus pembahasan dalam rapat Panja. DPD RI turut menyampaikan pandangan dan masukannya terhadap ayat/pasal dalam RUU ini.
Senator asal Papua Barat Daya Agustinus Kambuaya, S.I.P., S.H. menyoroti banyaknya perguruan tinggi yang berada di wilayah tambang yang masih belum mandiri secara ekonomi. “Banyak perguruan tinggi di daerah yang berada di wilayah tambang dan belum menjadi perguruan tinggi yang mandiri (secara ekonomi), masih dibawah kementerian dan belum terakreditasi. Berbeda dengan perguruan tinggi yang sudah besar, mereka sudah memiliki banyak bidang usaha seperti percetakan, rumah sakit, dan sebagainya sehingga sudah memiliki sumber pendanaan yang beragam. Jika perguruan tinggi sudah terakreditasi dan mandiri, maka perguruan tinggi itu dapat menjalankan kegiatan pertambangan. Perlu dirumuskan pasal yang tidak merugikan perguruan tinggi di wilayah tambang yang belum terakreditasi”, jelas Agustinus.
Terkait keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat adat, Senator asal Papua Barat Daya tersebut berpandangan bahwa diperlukan pemetaan yang dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat adat untuk menentukan tata lahan untuk pertambangan.
“Sebelum pemerintah maupun swasta masuk ke daerah, batas wilayah (untuk pertambangan) harus dipetakan. Perlu dilakukan pemetaan yang partisipatif dengan masyarakat adat untuk dapat memperjelas lokasi hutan adat, hutan lindung, lahan pertambangan, dan sebagainya”, tegasnya.
Senada dengan Agustinus, Senator asal Maluku Utara Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si. juga menyoroti perlunya pemetaan lahan di daerah untuk mencegah terjadinya konflik antara masyarakat dan perusahaan dengan IUP. “Lahan di daerah itu bukan lahan kosong, tapi lahan yang bertuan. Konflik antara warga dan korporasi dengan IUP seringkali terjadi. Secara riil, ada situasi mendesak yang membutuhkan advokasi dari sisi kebijakan. Perlu ada sejenis afirmasi dalam penguatan pada (peran) masyarakat lokal. Perlu ada pemetaan lahan”, ujarnya.
Terkait dengan aspek keberlanjutan, Senator asal Maluku Utara tersebut menyampaikan bahwa melindungi hutan lindung dari aktivitas yang merusak lingkungan, seperti pertambangan, perlu dilakukan untuk menjaga fungsi hutan lindung itu sendiri.
“Hutan lindung memiliki fungsi sebagai cadangan air, cadangan pangan, dan habitat binatang dan tumbuhan yang ada didalamnya (untuk menjaga biodiversitas). Pengalihan hutan lindung (untuk dijadikan wilayah tambang) itu tidak mudah karena fungsi hutan lindung sangat besar (dampaknya) bagi kelangsungan hidup manusia. Jangan sampai kita sangat eksploitatif (tanpa memerhatikan aspek keberlanjutan)”, tambahnya.
Finalisasi RUU pertambangan minerba dilakukan dengan diselenggarkannya rapat bersama tim perumus (timus) dan tim sinkronisasi (timsin) untuk merancang ayat-ayat yang termuat dalam RUU ini dan penyampaian pendapat akhir mini dari seluruh fraksi DPR RI, DPD RI, dan pihak pemerintah yang diwakilkan oleh Menteri ESDM. Dalam penyampaian pendapat akhir mini, DPD RI, yang diwakilkan oleh Senator asal Maluku Utara Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si. menyampaikan sejumlah catatan terhadap RUU tersebut, diantaranya adalah royalti atau manfaat yang diberikan kepada perguruan tinggi terbagi menjadi dana abadi dan dana untuk menjalankan Tri Darma Perguruan Tinggi, perlunya peran negara untuk melakukan kajian kelayakan dan kesiapan lahan serta pemetaan dan penetapan wilayah adat sebelum dikeluarkannya WIUP dan IUP, dan pentingnya melibatkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah guna mewujudkan kemandirian daerah secara ekonomi.(mn/*/ang)