
PADANG, MIMBAR — Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Sumbar, H. Hidayat, SS, MH, menilai, pernyataan Gubernur meminta manajemen Bank Nagari mundur jika tak komit konversi ke syariah merupakan bentuk arogansi kekuasaan untuk melampiaskan ambisi politik, sekaligus menunjukkan betapa Gubernur memiliki nyali lemah. Jika bernyali kuat, copot saja langsung, bukan main gertak. Masak nyali Gubernur hanya mebggertak?
Demikian disampaikan Hidayat, yang juga Anggota Komisi III Bidang Keuangan dan Perbankan DPRD Sumbar saat dimintai tanggapannya soal pernyataan Gubernur yang menegaskan jika ada jajaran Bank Nagari yang tidak mendukung konversi ke syariah sebaiknya mundur saja.
“Itu gertak sambal namanya, jika bernyali copot saja, kan kekuasaan ada di tangan Gubernur sebagai pemegang saham pengendali di Bank Nagari. Jika bernyali ya copot saja, masa sekaliber Gubernur mainnya gertak, ha ha ha,” ucap Hidayat.
Menurut Hidayat, mungkin Gubernur belum mendapatkan informasi lengkap atau dapat informasi yang tidak benar sehingga menyatakan hal tersebut. Aapakah benar manajemen Bank Nagari tidak melaksanakan upaya upaya pemenuhan persyaratan menunju konversi syariah?
Kalau berdasarkan beberapa kali rapat kerja dengan Direksi dan Komisaris Bank Nagari bersama Komisi III DPRD Sumbar. Sesuai laporan dan data yang disampaikan, upaya pemenuhan syarat ke konversi terus dilaksanakan, namun ada kendala iya, seperti teknis minta persetujuan setiap nasabah yang disyaratkan OJK. Hal ini guna mengetahui sikap masing masing nasabah apakah tetap setia jadi nasabah Bank Nagari jika Bank Nagari berubah total ke sistem syariah. Teknisnya tidak bisa secara langsung karena adanya kebijakan pembatasan interaksi langsung gara gara pandemi Covid-19 sehingga tak sesuai target waktu.
Namun, secara khusus Hidayat berpandangan bahwa pernyataan Gubernur tersebut seakan menandakan besarnya ambisi politik untuk menguasai Bank Nagari, BUMD yang kinerja keuangannya membaik dan perolehan laba yang terus meningkat tersebut.
“Tahun 2021 labanya kurang lebih Rp400 miliar sehingga deviden yang bakal disetorkan ke kas daerah Pemrov juga meningkat menjadi sekitar Rp90 miliar kurang lebih,” jelas Hidayat.
“Saya tegaskan, bukan berarti kita tidak mendukung konsep syariah, namun kajian kajian keuangan dan rasio rasio resiko tentu menjadi basis dalam mengambil kebijakan. Pertanyaannya kenapa tidak dibuka membesarkan Unit Usaha Syariah (UUS) misalnya, atau mendorong UUS ini menjadi Bank Umum Syriah Bank Nagari,” tambah Ketua Alumni Fakultas Ilmu Budaya Unand ini.
Kenapa Gubernur tidak mau mengeluarkan peluh untuk membesarkan Unit Usaha Syariah Bank Nagari yang sudah ada ini. Jika ingin bersyariah juga secara kaffah, sebaiknya Gubernur gagas juga agar semua bank konvensional yang beroperasi di Sumatera Barat harus menerapkan sistem keuangan syariah, itu baru mantap dan pihaknya akan dukung full.
“Jangan BUMD yang sudah baik ini direcoki, apalagi bila hanya didasari oleh kemauan atau ambisi politik tentu beresiko besar terhadap Bank Nagari yang merupakan entitas bisnis keuangan dan perakan yang sangat sensnitif dlam menjaga kepercayaan nasabah. Jika nanti Bank Nagari anjlok kinerjanya apakah Gubernur bersedia bertanggungjawab,” tanya Hidayat.
Hidayat mengaku tidak yakin, buktinya dua BUMD seperti Hotel Balairung milik Pemrov dengan aset Rp150 miliar lebih yang katanya selalu merugi sehingga tidak serupiah pun yang dietorkan ke kas daerah dari hasil usaha hotel tersebut. Juga tidak ada kebijkan atau tindakan tegas dari Gubernur sampai saat ini, tetap saja membiarkan Direksinya seperti itu. Begitu juga dengan PT Grafika, merugi dan mengalami banyak permasalahan, diam diam pura pura tidak tahu saja Gubernur tuh.
“Pertanyaannya apakah karena kedua BUMD yang merugi tersebut pernah dipimpin oleh kader yang sama dengan Gubernur sehingga tutup mata untuk menyikapinya, saya tidak tahu juga, baiknya tanya sama Gubernur yang juga Ketua DPW PKS Sumbar,” terangnya.
Satu hal lagi, lanjut Hidayat,
apakah konversi ini sudah menjadi kebutuhan daerah atau keinginan Gubernur.
“Pertanyaan tersebut yang belum terjawab sampai saat ini oleh saya, apakah kebutuhan daerah yang katanya untuk mendukung komitmen Presiden Jokowi menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah atau hanya sekedar nafsu Gubernur untuk menguasai Bank Nagari dengan selimut syariah, saya juga belum tahu persis,” kata Hidayat.
“Persis yang saya tahu bahwa Gubernur sangat bernafsu itu iya. Buktinya, Gubernur sudah menyurati DPRD untuk meminta agenda pembahasan Ranperda konversi ini dilanjutkn walau Ranperda ini tidak masuk di Program Pembentukan Perda tahun 2022 ini, tapi walau tidak masuk Propemperda 2022 tetap ada pelung hukum untuk dapat dibahas tahun ini. Mudah mudahan sebentar lagi akan dibahas DPRD,” tukuknya.
Ditambahkannya, jika ingin bersyariah seacara kaffah alias tidak dibungkusan saja seperti praktek lembaga lembaga keuangan yang berlabel syariah namun prakteknya tetap konvensional, maka dia jelas akan mendukung full hal tersebut.
“Mungkin Gubernur lupa dan gagal prioritas dalam mensyariahkan peradaban perekonomian rakyat Sumbar. Menurut saya, mestinya yang diprioritaskan dulu adalah mensyariahkan peradaban,” ucapnya.
Selama di Komisi III DPRD Sumbar yang bermitra dengan Dinas Koperasi dan UMKM, menurut Hidayat, ternyata masih banyak pelaku usaha super mikro dan mikro yang ada di daerah ini, sumber pembiayaan usahanya berasal dari rentenir yang bunganya sangat mencekik, “Tidak digubris Gubernur itu, tidak terdengar itu bagaimana kebijakan Gubernur, minimal untuk mengurangi ketergantungan dengan rentenir. Justeru sebaliknya, Peraturan Gubernur tentang program subsidi bunga terhadap pelaku usaha super mikro belum juga diteken Gubernur,” aku Hidayat.
Program subsidi bunga merupakan program yang digagas oleh DPRD Sumbar. Ketua DPRD dan pimpinan Komisi III beserta anggota saat itu menginisiasi program ini dan sudah menjadi kesepakatan antara DPRD, Pemrov dan Bank Nagari, namanya program simamak.
Namun, keputusan mengoperasionalkannya ada di tangan Gubernur melalui pembentukan Pergub. Pergubnya belum keluar, padahal sudah sejak awal awal tahun 2021, bahkan juga sudah dialokasikan anggaran ABPD lebih kurang 3 miliar untuk subsidi bunga dengan total plafon kredit sampai belasan miliar yang diperuntukkan bagi puluhan ribu calon calon debitur pelaku usaha super mikro. Faktanya saat ini masih nihil.
Padahal program simamak ini merupakan pembiayaan yang diperuntukkan bagi pelaku usaha super mikro ini dengan bunga 2% setahun. Ada nilai edukasinya, selain pelaku usaha super mikro yang umumnya belum memiliki rekening bank diharapkan bisa punya pengalaman dan ramah terhadap pelayanan keuangan perbankan.
“Sebaliknya, bank juga bakal memiliki rekam jejak terhadap ketaatan debitur membayarkan kewajibannya, sehingga selanjutnya bila membutuhkan kredit lebih besar, pihak bank sudah punya penilaian. Namun, program baik memangkas rentenir yag menerapkan bunga sampai 20% sebulan ini gagal total gara gara Gubernur tidak bersedia menerbitkan Pergub yang menjadi dasar hukum untuk melaksanakannya. Jadi kalau dapat tolong satukanlah atara perkataan dan tindakan, jangan hanya fokus pada casing,” harap Hidayat. (mn/*/ang)