Ketentuan Pidana, Bisa jadi Pintu Masuk Memasifkan Keterbukaan Informasi Publik

Almudazir (foto/ist)

Penulis: Almudazir, SS (Pemred Mimbarsumbar.id)

GAUNG Keterbukaan Informasi Publik membahana di jagat maya termasuk dalam setiap diskusi di badan publik. Dukungan untuk keterbukaan selalu ditegaskan oleh para pemangku kebijakan. Bahkan kita terkadang ngeri-ngeri sedap juga ketika mendengar komitmen dari pimpinan badan publik, bila bicara keterbukaan informasi dan transparansi. Namun di tataran pelaksanaannya ‘jauh Panggang dari Api’. Lihat saja, banyak informasi publik yang seharusnya menjadi hak masyarakat untuk tahu, kebanyakan dipublis hanya untuk kalangan tertentu.
Itulah, mengapa penulis meyakini, Keterbukaan Informasi Publik (KIP) hanya mengapung di lautan omongan tapi tenggelam di perbuatan dan tindakan. Fakta yang terjadi di tengah masyarakat, keterbukaan dan transparansi itu seakan sudah mati suri. Dan tak jadi rahasia lagi, bagaimana pejabat publik berpestapora dengan uang negara, korupsi merajalela, sogok menyogok menjadi nyata dan kongkalingkong pun tak pernah reda.
Apakah kondisi pelik ini bisa selesai dengan Undang Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik? Banyak yang pesimis. Apalagi UU No. 14/2008 ini tak memberi ruang sanksi bagi badan publik yang tak menerapkan keterbukaan informasi. Sanksi moral, tak lah cukup memberi daya kejut bagi pengelola uang negara yang tak terbuka. Memang ada ruang sanksi pidana bagi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), tapi muara pidana itu melalui alur sungai yang panjang dan berliku. Padahal, seharusnya ketentuan pidana inilah yang diperkuat sosialisasinya ke masyarakat dan badan publik, agar ada kabar petakut bagi pimpinan publik untuk tidak terbuka. Karena, dalam UU No. 14/2008 tersebut, pada BAB III, Bagian Ketiga Tentang Hak Badan Publik (Pasal 6), hanya dua faktor saja yang bisa menolak pemberian informasi ke publiki, Ayat (1) Badan Publik Berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu padaAyat (2) disebutkan bahwa Badan publik berhak menolak memberikan informasi publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan di Pasal (3) Dijelaskan Informasi publik yang tidak dapat diberikan oleh badan publik, sebagaimana dimaksud Ayat (1) adalah, (a) Informasi yang dapat membahayakan negara, (b) Informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan tidak sehat, (c) Informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi, (d) Informasi yang berkaitan rahasia jabatan dan/atau (e) Informasi publik yang diminta belum dikuasai ataiu di dokumentasiikan.
Artinya, selain ketentuan di di atas, badan publik tidak punya alasan untuk tidak memberikan atau menyampaikan informasi di bawah kewenangannya ke publik atau pemohon informasi publik.
Dalam BAB X PasaI 51-57, UU No. 14/2008, tentang Ketentuan Pidana, telah terurai jelas sanksi kurungan dan denda bagi badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan atau tidak menerbitkan informasi publik secara berkala. Di Pasal 51 UU ini, ditegaskan bahwa bagi orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum atau membuat informasi publik yang tidak benar sehingga menyebabkan kerugian bagi orang lain, dipidana penjara paling lama satu (1) tahun atau dengan maksimal Rp.5 juta. Bahkan di Pasal 53 justru lebih tegas lagi, ancama penjara maksimal 2 tahun atau denda Rp10 juta, menanti orang-orang yang dengan sengaja merusak, menghancurkan atau menghilangkan dokumen informasi publik.
Meski begitu landasan proses penerimaan pengaduan di pengadilan, baik Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Tata Usaha Negara, tetap diawali ketidakpuasan dan mengacu Putusan Komisi Informasi. Bahkan hakim komisioner Komisi Informasi dapat dipanggil pengadilan bila keterangannya dibutuhkan.
Mahkamah Agung sendiri sejak jauh-jauh hari, juga telah memberikan dukungan dalam upaya mewujudkan Keterbukaan Informasi badan publik. Dukungan itu dialkukan dalam bentuk menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2011 tetang tata cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan. Dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia itu, diurai dengan jelas tahapan penyelesaian sengketa informasi, tata cara mengajukan keberatan, tata cara pemeriksaan hingga pengambilan keputusan.
Khusus pada BAB II Tentang Kewenangan Mengadili dalam Peraturan Mahkamah Agung RI tersebut, di Pasal (2) Penyelesaian sengketa informasi di pengadilan, dilakukan oleh peradilan umum dan peradilan tata Usaha Negara. Sedangkan di Pasal (3) Sesuai dengan pasal (47) dan Pasal (48) Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka (a) Pengadilan negeri berwenang untuk mengadili sengketa yang diajukan oleh badan publik selaijn badan publik negara dan/atau pemohon informasi yang meminta informasi kepada badan publik selain badan publik negara. (b) Pengadilan tata Usaha Negara Berwenang untuk mengadili sengketa yang diajukan badan publik negara dan/atau pemohon informasi yahg meminta informasi kepada badan publik negara.
Nah, dari berbagai aturan dan ketentuan itu, dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak pencari informasi atau pejuang Keterbukaan Informasi Publik untuk memberi efek jera bagi badan publik yang ‘takut’ terbuka. Karena sudah jelas, dan penulis sepakat dengan penegasan Tokoh Keterbukaan Informasi yang juga membidani kelahiran Komisi Informasi Sumbar dan anggota DPRD Sumbar, HM Nurnas, bahwa “Badan Publik yang takut terbuka informasi, maka badan publik sebagai pengelola dana masyarakat dalam bentuk APBD dan APBN itu patut dicurigai”. Karena bagi HM Nurnas, tak ada alasan lagi bagi badan publik untuk tidak terbuka, karena aturan mainnya sudah jelas.
Atau apa yang dikatakan kata Ketua Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat, Ijang Faisal, saat bersilaturahmi dengan anggota Forum Jurnalis Keterbukaan Informasi Publik (FJKIP) akhir tahun lalu di Bandung, “Kalau Bersih Kenapa Risih” Jadi, apa yang ditakutkan.
Karena itu, baliho besar yang terpajang di sejumlah instansi pemerintahan bertuliskan “Wilayah Bebas Korupsi” tak ada artinya bila dalam pelaksanaan tata kerjanya jauh dari semangat Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Tapi memang, mewujudkan Keterbukaan Informasi, butuh anggaran. Pejabat Pengelola Informasi Daerah (PPID) Utama yang dilakoni oleh Sekretaris Daerah (Sekda) atau PPID Pembantu di setiap badan publik, butuh biaya untuk menyiapkan perangkat pendukung menuju Keterbukaan Informasi. Tentunnya, diawali oleh komitmen kepala daerah sehingga tim anggaran daerah mengalokasikan anggaran yang cukup untuk memenuhi perangkat keterbukaan informasi. Termasuk penerapan reward dan punishment bagi pimpinan badan publik.
Kita semua sudah paham, betapa tingginya daya juang Komisioner Komisi Informasi Sumbar “Menjajakan” Keterbukaan Informasi Publik ke semua Organisasi Perangkat daerah (OPD), instansi vertikal, BUMN, BUMD, Sekolah-sekolah, hingga nagari-nagari dan menggaungkan transparansi dalam program Monitoring dan Evaluasi (Monev) badan publik. Bagaimana mana pula para komisioner ini mengeluhkan minimnya dukungan anggaran sehingga harus membatasi kegiatan untuk bersosialisasi. Namun semangatnya untuk mewujudkan Badan Publik Informatif, tak pernah surut. Pembinaan dan pendampingi terus dilakukan. Ilmu mencapai keterbukaan tak henti ditularkan.
Tinggal lagi, bagaimana Kepala Daerah bersama DPRD memancangkan komitmennya, bahwa Keterbukaan Informasi Publik itu membuahkan hasil dengan target tampilnya badan publik-badan publik Informatif.
Jika ini terjadi, yakinlah, Komisioner Komisi Informasi tak perlu lagi menghabisikan bersidang, karena tak ada lagi Sengketa Informasi Publik. Masyarakat pun tak perlu lagi berprasangka pada pejabat negara.***

Pos terkait