Tradisi Perkawinan Marapulai Basuntiang Masyarakat Pesisir Selatan, Sumatera Barat

Mirta Putri Maini. (foto/dok)

Oleh: Mirta Putri Maini

Indonesia memiliki banyak provinsi serta keragaman budaya,adat maupun tradisi contohnya pada provinsi Sumatra Barat yang terkenal dengan berbagai macam tradisi, salah satunya adat perkawinan. Tiap daerah di Sumatra barat memiliki adat pernikahan yang memiliki keunikan masing-masing. Seperti di Inderapura Kabupaten Pesisir Selatan memiliki adat pernikahan yang mewajibkan “marapulai” (mempelai pria) menggunakan “suntiang”.

Bacaan Lainnya

Pemakaian suntiang pada pengantin pria (marapulai) merupakan adat istiadat turun temurun dan nenek moyang terdahulu. Asal usul suntiang marapulai berawal dari sejarah Adityawarman yang ingin menguasai kerajaan Indojati (Inderapura Silaut) yang berada di Darek. Saat Adityawarman utusan raja Jawa Majapahit sampai di Darek pada tahun 1350.

Pada saat Adityawarman sampai disambut dengan meriah dan Adityawarman pun dipakaikan suntiang karena disambut dengan baik Adityawarma tidak mau menguasai kerajaan indojati, Adityawarman tertarik dengan salah satu gadis yang ada disana, dan menikahi gadis tersebut. dari kejadian itu datuak parpatih nan sabatang mengeluarkan peraturan adat bahwa adityawarman selaku sumando turun satingkek tanggo.

Adapun makna dari Tradisi marapulai basuntiang dalam adat perkawinan diKampung Hilalang Kenagarian Indrapura,yaitu sebagai berikut:

1. Turun satingkek tanggo,maksudnya seorang laki-laki yang telah menjadi sumando sederajat dengan perempuan yang dinikahinya.

2. Sebagai raja sehari, maksudnya marapulai dan anak daro menjadi raja sehari karena di arak-arak sekeliling kampung.

3. Untuk menggambarkan kepada masyarakat umum bahwa seorang laki-laki itu telah menjadi sumando orang.

4. Menyamakan derajat laki-laki dengan perempuan yang dinikahi.

Selanjutnya untuk menggambarkan kepada masyarakat umum bahwa seorang laki-laki itu telah menjadi sumando. Dan makna terakhir adalah menyamakan derajat laki-laki dengan perempuan yang dinikahinya.

 

Suntiang secara umum sudah dikenal sebagai aksesoris utama bagi seorang pengantin wanita Minang saat menjalankan prosesi adat perkawinan. Suntiang biasa dipakai di kepala pengantin wanita (anak daro). Suntiang adalah perhiasan kepala untuk mempercantik penampilan dan biasanya perhiasan di kepala ini hanya dipakai oleh pengantin perempuan (Nursyirwan, 2009: 3)

Dahulu suntiang beratnya bisa mencapai berkilo kilo dan harus dipakai di atas kepala selama pesta berlangsung, membuat calon pengantin perempuan yang disebut ‘anak daro’ banyak yang tidak sanggup menjalankannya. Namun semakin modernnya fashion, suntiang pun sudah dimodifikasi sedemikian bentuk. Sekarang suntiang lebih ringan, sehingga anak daro lebih santai dan bergerak leluasa tanpa keluhan sakit kepala.

Di Kanagarian Inderapura suntiang yang dipakai pengantin pria (marapulai) dan pengantin wanita (anak daro) bentuknya sedikit berbeda, perbedaan antara suntiang anak daro dengan marapulai yaitu Corak dan tinggi suntiangCorak pernak pernik suntiang marapulai lebih besar motifnya dibandingkan dengan suntiang anak daro. Selain itu, suntiang yang dipakai marapulai tinggi lonjongnya lebih rendah dibandingkan dengan suntiang anak daro.

Kemudian, lebarnya lebih juga lebih kecil ketimbang suntiang Dalam tradisi pernikahan Inderapura, biasanya kedua mempelai akan diarak berkeliling kampung. Tujuannya untuk memberitahukan orang kampung bahasa kedua mempelai telah sah menjadi suami istri. Marapulai memakai suntiang saat arak-arakan turun dari rumah Bako. Mempelai laki-laki ini dibawa ke rumah Bako (saudara perempuan ayah mempelai) untuk dirias mengenakan pekaian pengantin. Arak-arakan kedua mempelai diiringi dengan Badiki (bazikir) dengan menambah rabana yang merupakan musik tradisi turun temurun sejak agama Islam masuk ke Inderapura.
Badiki merupakan musik perkusi rebana berukuran besar yang dimaikan tiga orang atau lebih sembari berselawatan kepada Nabi SAW. Badiki, diadopsi dari bahasa Arab berzikir yang disebut oleh masyarakat lokal nagari Inderapura Kecamatan Air Pura Kabupaten Pesisir Selatan. Berzikir ini telah ada sejak zaman agama Islam masuk ke Inderapura. Bersikir ini merupakan ritual sakral yang lantunkan pada acara baralek (Pesta Perkawinan). Selain itu, kegiatan tersebut juga sering mengisi acara tahunan seperti menyongsong bulan Malut Nabi Muhammad SAW dan maanta (Mengantar) bulan Maulut Nabi Muhammad SAW.

Berzikir dengan peralatan rabana (rebana) saling meningkah satu dengan yang lain. Sehingga dinamisasi musik perkusi pun terlahir serta diiringi sahut menyahut suara zikir yang dilantunkan. Memainkan musik rabana atau badikia tersebut dimainkan minimal tiga orang atau lebih. Badikia merupakan sebagai penanda ada acara pesta atau keramaian. Setiap di tabuh rabana tersebut ada makna.

 

Sebelum prosesi pesta berlangsung ada tahapan dan proses yang dilalui. prosesi Timbang Tando (peminangan) dari pihak calon mempelai perempuan yang berkunjung kerumah calon mempelai laki-laki. Buah tangan yang dibawa pihak keluarga mempelai perempuan kue bolu dan gulai ayam. Setelah itu, pihak calon mempelai laki-laki pergi kerumah calon mempelai perempuan untuk Kunjungan balasan disebut juga dengan Duduak Baretoang (musyawarah) untuk menentukan menentukan hari pernikahan atau walimah. Pada saat duduak beretoang tersebut mencari kesepahaman untuk menentuhan hari pernikahan antara kedua belah pihak keluarga mempelai baik laki-laki dan perempuan serta merancang bentuk perayaan pesta.Kemudian setelah itu ada namanya rapek bilik kicik dan rapek bilik gadang.

Rapek bilik kcik tersebut adalah mengambil putusan serta merumuskan bagaimana bentuak acara yang akan diadakan selama prosesi pernikahan tersebut. Rapek Kcik tersebut dihadiri oleh keluarga laki-laki ibu kandung (mamak) mempelai perempuan. pihak keluarga ayah kandung mempelai perempuan atau bako dari mempelai. Rapek Kcik tersebut dihadiri oleh Ughang Tuo (orang yang dituakan dalam suku) dari pihak ayah kandung dan pihak pihak ibu kandung mempelai.

Sedangkan Rapek bilik Gdang tersebut akan adalah ajang silaturrahim mamak dengan kemenakan, serta mendengarkan rundingan dan maksud tuan rumah sebagai jamu alek. Maka, mamak yang hadir pada Rapek Gdang tersebut akan badoncek (menyumbang) dana untuk menyukseskan prosesi perkawinan. Rapek Kcik dan Rapek Gdang tidak dilakukan secara bersamaan melainkan memiliki rentang waktu yang telah direncanakan sebelumnya. Usai acara pernikahan, kedua mempelai, para tamu atau keponakan Mamak tetap menyantap bajamba sebagai tanda syukur dan mendoakan kedua mempelai (keponakan) menjadi keluarga Sakinah, Mawahdah, Warahmah.

Sebelum makan bajamba diadakan pidato kecil tradisional sebelum makan. Untuk menunjang prosesi alek dilengkapi dengan fasilitas hiburan seperti Badiki. Badiki adalah musik tradisional yang memberi isyarat kepada orang banyak. Badiki diartikan memberi pemberitahuan kepada masyarakat desa bahwa ada kerumunan di desa atau sedang berlangsung pernikahan. Dengan cara ini, penduduk desa dapat datang dan berpartisipasi meskipun mereka tidak diundang. Badiki dalam acara alek biasanya dilakukan pada siang hari sambil menunggu tamu.***

Penulis merupakan Mahasiswi Prodi Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

Pos terkait