Komite III DPD RI Inventarisasi Materi RUU Pelestarian Adat Istiadat Kerajaan di Bali

Rapat Kerja Komite III DPD RI yang berlangsung Sabtu (21/01/23) di Gedung Wiswa Sabha Utama Kantor Gubenur Bali. (foto dok/ist)

BALI, mimbarnasional.com — Komite III DPD RI melakukan Rapat Kerja (Raker) guna penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan dan pelestarian budaya adat kerajaan nusantara di Bali

Wakil Ketua Komite III DPD RI, Habib Ali Alwi dalam Rapat Kerja dengan wakil Gubenur Bali Prof. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati beserta jajarannya mengatakan bahwa raker ini dilakukan untuk mewujudkan gagasan DPD RI mendorong terbentuknya RUU tentang Pelestarian Budaya Adat Istiadat Kerajaan. RUU ini diawali oleh adanya aspirasi masyarakat daerah dan ditindaklanjuti oleh pimpinan DPD RI.

Bacaan Lainnya

“Kita ketahui bersama keberadaan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan kebudayaan dianggap belum memenuhi kebutuhan tentang pengaturan serta posisi kerajaan/kesultanan dalam upaya melindungi dan melestarikan budaya dan adat istiadat warisan para leluhur di nusantara,” ujar Habib Ali Alwi dalam Rapat Kerja yang berlangsung Sabtu (21/01/2023) di Gedung Wiswa Sabha Utama (Kantor Gubenur Bali).

Rapat kerja juga dihadiri anggota Komite III lainnya yakni Muslim M. Yatim (Sumbar), Amang Syafruddin (Jabar), Dedi Iskandar Batubara (Sumut), Edwin Pratama Putra (Riau), Jihan Nurlela (Lampung) Alexander Fransiscus (Kep. Babel), H.Cholid Mahmud (DI Yogyakarta), Erlinawati (Kalbar), Muhammad J. Wartabone (Sulteng), Lily Amelia Salurapa (Sulsel), Dewa Putu Ardika Seputra (Sultra) dan Rahmijati Jahja (Gorontalo).

Wakil Gubernur Bali, Prof. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau biasa dipanggil (Cok Ace), yang menerima rombongan Komite III DPD RI menyebutkan bahwa budaya adalah akumulasi yang terjadi dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dari zaman nenek moyang terdahulu bertahun-tahun yang menjadi peradaban hingga terjadi di zaman sekarang.

Cok Ace yang juga lulusan dari Universitas Udayana ini  menambahkan bahwa budaya yang terjadi saat ini terbangun dari pilar-pilar daerah dengan berbagai simbol-simbol budaya, situs, kerajaan, keraton, pura dan puri. Secara Etimologi Puri yang berarti kota yang berbenteng dan dalam perkembangannya pemakaian nama “Pura” menjadi khusus untuk tempat pemujaan Tuhan

“60% wisatawan asing yang datang ke Bali karena adanya budaya kerajaan yang masih terjaga kultur budayanya,” ujar Cok Ace.

Selain itu, Senator Bali Anak Agung Gde Agung yang juga sebagai wakil daerahnya menyebutkan, Ada beberapa pertimbangan yang melandasi pentingnya pengaturan penyusunan rancangan undang-undang tentang perlindungan dan pelestarian budaya adat kerajaan nusantara yaitu aspirasi masyarakat dan daerah yang menuntut adanya penghargaan dari negara atas keberadaan kerajaan/kesultanan dan menjadikan kerajaan sebagai sentrum kebudayaan lokal. Termasuk adanya batas-batas dari kebudayaan tersebut dipengaruhi oleh hubungan kekuasaan dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan. Pola hubungan kekuasaan ditunjukkan dalam identitas kelompok dan kelembagaan yang mengubah cara pandang kelompok.

“Beberapa hal diatas dan beberapa permasalahan lainnya perlu dicari jalan keluarnya agar upaya pelestarian budaya adat istiadat kerajaan dapat berjalan optimal dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Adanya UU Cagar Budaya maupun UU Pemajuan Kebudayaan belum mengatur dan mendefinisikan hal-hal tersebut,” ungkapnya.

“Kedua UU tersebut belum mengakomodasi ruang negosiasi atas nilai dan praktek keberadaan raja/sultan pada kerajaan/kesultanan yang ada di Indonesia,” tambah Anak Agung Gde Agung.

Senator asal Bali ini juga mengapreasi Pengelingsir Puri Agung yang hadir dalam penyusunan rancangan undang-undang tentang perlindungan dan pelestarian budaya adat kerajaan nusantara. Dalam undangan yang hadir yang mulia Pengelingsir Puri Agung Klungkung, yang mulia Pengelingsir Puri Agung Karangasem, yang mulia Pengelingsir Puri Agung Bangli, yang mulia Pengelingsir Puri Agung Gianyar, yang mulia Pengelingsir Puri Agung Ubud, yang mulia Pengelingsir puri Agung Peliatan, yang mulia Pengelingsir Puri Agung Blahbatuh, yang mulia Pengelingsir Puri Agung Denpasar, Ketua Warih Dalam Pemayun (yang mulia Pengelingsir Puri Agung Petak), yang mulia Pengelingsir Puri Agung Pemecutan, yang mulia Pengelingsir Puri Agung Kesiman, yang mulia Pengelingsir Puri Agung Jero Kuta, yang mulia Pengelingsir Puri Agung Mengwi, yang mulia Pengelingsir Puri Agung Singaraja, yang mulia Pengelingsir Puri Agung Sukasada, yang mulia Pengelingsir Puri Agung Tabanan, dan yang mulia Pengelingsir Puri Agung Negara/Jembrana.

Salah satunya yang mulia Pengelingsir Puri Agung Ubud menyebutkan dalam pemajuan kebudayaan harus memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat di sekitar. Selain itu ia mendorong Komite III DPD RI terkait pajak Puri yang begitu besar dibayarkan setiap tahunnya. Keberadaan pajak yang begitu besar menurutnya akan menjadikan central point dalam pemajuan kebudayaan dan tidak akan memberikan kontribusi secara maksimal.

Dia juga menambahkan budaya terjadi karena alkulturisasi budaya yang timbul dengan kebudayaan tertentu yang dihadapkan dengan budaya asing karena banyak sekali budaya-budaya yang harus dipresentasikan seperti pakaian adat, kegiatan sehari-hari dan lain-lain.

Prof. Dr. Hj. Sylvia Murni, S.H., M.Si., yang merupakan senator DKI Jakarta juga memberikan apresiasi kepada semua stakeholder yang hadir dalam rangka penyusunan rancangan undang-undang tentang perlindungan dan pelestarian budaya adat kerajaan nusantara. Menurutnya, potensi yang dimiliki Bali sebagai parameter karena Bali central point dalam pengelolaan SDM dan SDA yang begitu baik.

“Budaya dan tradisi unik yang berada di Bali seperti pemakaman Desa Trunyan Tradisi Mekare-kare Tradisi Omed-omedan dan tradisi Mekotek yang saat ini menjadi hal yang istimewa untuk dinikmati oleh wisatawan karena ini akan mendapatkan pengalaman istimewa yang tidak bisa ditemukan di daerah lainnya,” ujar Sylvia.

“Terlepas dari berbagai kekurangan dan kelebihan yang ada, Komite III DPD RI betekad untuk memberi dukungan bagi terciptanya penyusunan rancangan undang-undang tentang pelindungan dan pelestarian budaya adat kerajaan nusantara. Melestarikan tradisi dapat dimaknai sebagai upaya melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan tradisi warisan leluhur. Tetapi faktanya melestarikan tradisi lebih dimaknai sebagai “melindungi” atau mencegah dari kerusakan, kepunahan atau kerugian,” imbuh Habib Ali Alwi, Wakil Ketua II Komite III DPD RI diakhiri Rapat Kerja. (mn/*/ang)

Pos terkait