Oleh: Bayu Setiawan Yuniarto
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat kebijaksanaan fiskal pemerintah dalam mempengaruhi perekonomian nasional. Kebijaksanaan fiskal (fiscal policy) dapat diterjemahkan sebagai segenap kebijaksanaan yang menyangkut pengelolaan penerimaan dan pengeluaran Negara yang dilakukan oleh pemerintah suatu Negara. Sebagai instrumen kebijakan fiskal, APBN mempunyai tiga fungsi utama yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi.
Fungsi alokasi dalam APBN terutama pada sisi pengeluaran, yaitu bagaimana pemerintah membagi sumber daya yang terbatas ke dalam sektor-sektor pembangunan yang menjadi prioritas guna mewujudkan tujuan pembangunan. Misalnya, bila saat ini pemerintah menganggap faktor manusia dianggap sebagai sumber daya yang strategis, maka alokasi anggaran untuk sumber daya manusia melalui pendidikan diperbanyak. Sebanyak 20 persen dari belanja negara, saat ini dialokasikan untuk pendidikan. Atau untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka porsi anggaran untuk pembangunan infrastruktur harus mendapatkan prioritas utama. Dengan demikian fungsi alokasi akan mengarahkan pengeluaran anggaran pemerintah pada orientasi peran yang akan dilakukan oleh pemerintah.
Dalam APBN terdapat alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang diarahkan untuk meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah, meningkatkan kualitas dan mengurangi ketimpangan layanan publik antar daerah, serta mendukung upaya percepatan pengentasan kemiskinan di daerah. Hal tersebut adalah wujud dari fungsi distribusi APBN, yaitu bagaimana pemerintah mengatur keseimbangan anggaran antar wilayah dan antar kelompok pendapatan agar dapat menghasilkan keadilan. Begitu pula pada sisi pengelolaan pendapatan negara, mereka yang kaya dan memiliki potensi ekonomi yang tinggi diwajibkan untuk membayar pajak lebih banyak daripada yang berkecukupan. Untuk mereka yang miskin tidak perlu membayar pajak, bahkan diberi uang oleh negara. Fungsi distribusi dapat dijadikan alat kepemihakan oleh pemerintah agar terjadi keseimbangan dalam masyarakat.
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa APBN menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. Pengelolaan APBN yang tepat dan efektif akan membuat pemerintah dapat menjaga stabilitas perekonomian. Apabila dalam kondisi pertumbuhan ekonomi menurun sebaiknya ditempuh kebijakan yang menstimulus untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan mendorong tingkat konsumsi masyarakat melalui pengurangan tarif pajak atau meningkatkan belanja pemerintah (defisit anggaran). Adapun dalam kondisi perekonomian yang membaik, sebaiknya ditempuh kebijakan anggaran surplus untuk menekan laju inflasi.
Belanja pemerintah selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan selama masa pandemi (Tahun 2020, 2021, dan 2022), sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 dimana pemerintah diperbolehkan menyusun APBN dengan defisit melampaui 3 (tiga) persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), volume belanja pemerintah mengalamai kenaikan yang sangat sigifikan. Dengan semakin besarnya alokasi belanja, maka perlu diimbangi dengan upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja pemerintah. Tantangan yang dihadapi pemerintah adalah bagaimana alokasi belanja yang besar tersebut dapat dikelola dengan baik sehingga masyarakat dapat merasakan dampak yang signifikan.
Salah satu permasalahan dalam pengelolaan belanja pemerintah adalah pola penyerapan anggaran yang tidak merata dalam satu tahun anggaran, dimana realisasi anggaran sebagian besar ditumpuk pada akhir tahun. Kondisi demikian tentunya akan sulit untuk mengharapkan bahwa belanja pemerintah akan menjadi stimulus dalam perekonomian. Padahal, sebagai instrumen fiskal, belanja pemerintah seharusnya bisa menciptakan efek multiplier dalam membantu pencapaian target pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada saat perekonomian sedang melemah diharapkan belanja pemerintah dapat menjadi motor utama penggerak yang akan mendorong perekonomian.
Banyak faktor yang menyebabkan penumpukan realisasi anggaran di akhir tahun, antara lain dari perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, sumber daya manusia, regulasi pengelolaan anggaran, hingga faktor internal dari Satuan kerja. Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal melakukan evaluasi atas kualitas pelaksanaan anggaran Kementerian/Lembaga dengan menggunakan Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran (IKPA). IKPA menjadi parameter evaluasi kinerja pelaksanaan anggaran yang terdiri dari tiga aspek pengukuran, yaitu aspek kualitas perencanaan anggaran, kualitas pelaksanaan anggaran, dan kualitas hasil pelaksanaan anggaran. IKPA diharapkan dapat meningkatkan kualitas belanja pemerintah yang lebih berkualitas, lebih baik (spending better), dan sesuai dengan tata kelola yang baik (good governance).
Salah satu indikator kinerja pada pengukuran aspek kualitas pelaksanaan anggaran adalah pola penyerapan anggaran berdasarkan karakteristik masing-masing jenis belanja. Pola penyerapan angaran sangat tergantung pada rencana pelaksanaan kegiatan. Pola kegiatan yang dikebut pada saat menjelang akhir tersebut, dimana waktu yang diperlukan guna penyelesaiannya terbatas, ibarat waktu dalam pertandingan sepakbola waktu-waktu tersebut adalah masa kritis atau injury time sedangkan banyak target yang mesti diselesaikan.
Jika dalam sepakbola, sepanjang waktu injury time tersebut banyak kejadian yang dapat merubah hasil pertandingan. Injury time atau tambahan waktu pertandingan dalam sepakbola merujuk pada jumlah waktu yang ditambahkan pada akhir pertandingan, dimana memungkinkan tim lebih banyak waktu untuk mencetak gol. Pada Piala Dunia 2022, banyak gol yang terjadi pada masa tambahan waktu yang menyebabkan satu tim dapat memenangkan pertandingan.
Dengan waktu yang sangat terbatas, sedangkan di lain pihak masih banyak kegiatan atau tagihan yang mesti diselesaikan mengakibatkan rawan terjadi kesalahan atau bahkan penyimpangan yang disebabkan karena berkurangnya pengawasan ataupun kecermatan dalam mengajukan ataupun menguji tagihan. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan mengindikasikan bahwa aktivitas keuangan pemerintah pusat dan daerah yang realisasinya cenderung menumpuk di akhir tahun, hal seperti itu sebagai rawan korupsi.
Selain rawan terjadi kesalahan, penumpukan kegiatan pada akhir tahun juga pasti akan berpengaruh pada kualitas pelaksanaan kegiatan/pengerjaan proyek sehingga output yang dihasilkan tidak akan optimal sesuai dengan yang direncanakan. Keterbatasan waktu yang menyebabkan pelaksana kegiatan hanya akan fokus bahwa kegiatan tersebut dapat diselesaikan secara tepat waktu. Kualitas kegiatan dan output kegiatan yang mestinya menjadi fokus utama dalam semua kegiatan/belanja pemerintah menjadi tidak optimal.
Apabila dalam pertandingan sepakbola waktu menjelang akhir pertandingan adalah masa dimana semua pemain harus bekerja lebih keras untuk memaksimalkan sisa waktu yang ada guna mengejar ketertinggalan ataupun memenangkan pertandingan, maka dalam pengelolaan keuangan masa menjelang akhir tahun anggaran mestinya dapat dioptimalkan untuk persiapan penyusunan laporan keuangan maupun laporan kinerja, karena semua kegiatan sudah dilaksanakan pada waktu-waktu sebelumnya bukan malah sibuk menyelesaikan kegiatan yang belum terlaksana. Pelaksanaan anggaran yang dieksekusi dengan baik dan tepat waktu bukan sekedar fokus kepada output kegiatan, akan menghasilkan dampak outcome yang lebih berkualitas sehingga penggunaan anggaran dapat memberi manfaat yang optimal dan seluas-luasnya bagi masyarakat. ***