Oleh: Willy Aditya
(Wakil Ketua Badan Legislasi, Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI)
Seorang kawan bercerita. Kakaknya gundah akan nasib cucunya. Pasalnya, dia harus menjalani operasi di Bandung. Ayah dan ibu si cucu yang bekerja di sebuah perusahaan di bilangan Karawang, sudah tidak bisa ambil cuti lagi. Itu artinya, tidak akan ada yang merawat si cucu. Anak dan menantu sang kakak memang tidak mau anaknya dirawat oleh orang luar. Banyak cerita dan kejadian yang membuat keduanya takut untuk memercayakan anaknya kepada orang lain. Walhasil, sang ibu, nenek dari si cucu, kakak dari kawan penulis itulah yang selama ini menjaga dan menemani seorang balita yang baru berusia delapan bulan tersebut.
Kenyataan semacam ini bukanlah peristiwa tunggal. Ia bahkan sudah menjadi fenomena, utamanya di tengah kehidupan urban dan suburban. Karena kedua orang tua harus bekerja maka sang anak yang masih di bawah umur harus berada dalam perawatan pihak ketiga. Ada yang dirawat oleh kerabat, seperti cerita di atas; ada yang oleh tetangga, atau ke tempat-tempat penitipan anak (day care) berbayar. Masalahnya, ketiga opsi tersebut kerap menyisakan dilema dan problema tersendiri.
Di sisi lain, fenomena di atas setidaknya menyampaikan kepada kita, tiga soal. Pertama, betapa peliknya urusan merawat anak saat ini, khususnya bagi mereka yang hidup di kawasan urban dan suburban. Kedua, betapa nasib generasi penerus bangsa, kini seolah hanya berada di tangan keluarga belaka. Padahal, ruang yang akan mereka temui dalam perjalanan hidupnya akan begitu kompleks – tidak hanya keluarga. Ketiga, ada yang absen dalam kesadaran banyak pemangku kepentingan akan kebutuhan ruang-ruang dalam kehidupan kepublikan kita.
Tiga Kepentingan
Padahal, setidaknya ada tiga dimensi yang akan melekat pada diri seorang anak manusia ketika lahir ke dunia ini terkait urusan kesejahteraan: dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Berkenaan dengan hal tersebut, ada tiga institusi yang sebenarnya satu sama lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Ketiganya merepresentasikan suatu pembagian fungsional atas tanggung jawab untuk mengantarkan seorang manusia pada kesejahteraan. Mereka adalah keluarga (jaringan-jaringan sosial), negara (terkait segi-segi politik), dan pasar kerja (dalam hal penyedia kesejahteraan). Namun, dalam dialektikanya, urusan tersebut seolah menjadi tanggung jawab keluarga semata.
Tidak hanya menjadi tanggung jawab, setiap kelahiran yang terjadi akan menjadi kepentingan tiga institusi tersebut. Sebagaimana pihak keluarga yang berkepentingan akan kebahagiaan anggota keluarga, negara dan pasar pun memiliki kepentingannya masing-masing. Bukankah salah syarat berdirinya sebuah negara adalah hadirnya warga penduduk? Bukankah berjalannya sebuah usaha produksi jika ada tenaga kerjanya? Jika keluarga berkepentingan dalam relasi kerabat atau persaudaraan maka negara dan pasar masing-masing berkepentingan dalam relasi warga negara yang patriotik dan calon tenaga kerja yang produktif.
Kepentingan itupun tidak hanya terkait pada eksistensi si anak sebagai generasi penerus melainkan juga kepada sang ibu. Bagi keluarga, sehatnya seorang ibu adalah kebahagiaan tersendiri. Bagi pasar, itu berarti tetap berlangsungnya produktivitas. Sementara bagi negara, hal tersebut bermakna terjaganya proses regenerasi penjaga eksistensi negeri. Bahwa negara dan pasar sejauh ini telah memberikan fasilitas-fasilitas tertentu bagi terjaganya kesehatan ibu dan anak, itu mungkin iya. Misalnya, fasilitas BPJS dalam urusan biaya persalinan, masa cuti melahirkan, dsb. Namun dalam sebuah kerangka menjaga kepentingan bersama sebagaimana dipaparkan di atas, beban membangun kesejahteraan masih lebih besar berada di pihak keluarga.
Lebih dari Kesetaraan Gender
Tidak heran jika logika mula dari perumusan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) adalah membangun kesetaraan gender. Hal ini berangkat dari timpangnya beban upaya membangun kesejahteraan di antara tiga pihak yang berkepentingan tadi. Sementara di dalam lingkup keluarga sendiri, beban terberatnya seringkali ada pada pihak ibu. Seperti dalam cerita di atas, dalam kehidupan urban dan suburban, seorang ibu seringkali harus ikut mencari nafkah mengingat penghasilan yang pas-pasan dari pasangan atau sebab lainnya. Di sinilah beban seorang ibu menjadi ganda: selain harus menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya, dia juga harus turut meringankan beban suami. Tidak berlebihan jika kemudian kehendak untuk meringankan beban pihak ibu atau membagi beban bersama, kental mewarnai isi RUU KIA.
Namun, sebagaimana kita ketahui, muncul nada keberatan dari pihak pengusaha. Utamanya terkait gagasan masa cuti (istri 6 bulan, suami 40 hari) yang dinilai akan semakin membebani perusahaan. Pascapengesahan RUU KIA sebagai RUU Inisiatif DPR, beberapa pihak bahkan langsung menyatakan penolakannya. Hal yang lumrah adanya. Namun penolakan atau keberatan tersebut lebih banyak muncul sebagai reaksi atas sebuah statemen atau beberapa klausul dalam draf. Sementara dalam konsep yang lebih utuh, penulis yakin semua pihak bisa sepaham. Belum lagi, sebagai sebuah draf, RUU tersebut masih terbuka untuk mendapatkan input maupun koreksi. Lebih dari itu, yang harus menjadi pemahaman bersama adalah bahwa RUU tersebut mesti dibangun dengan semangat sinergi dan kolaborasi di antara tiga pihak di atas demi terjaganya kesejahteraan generasi penerus bangsa.
Di sisi lain, kita juga perlu menyadari bahwa situasi dan kondisinya seringkali tidak selalu siap dan memadai bagi sebuah gagasan. Selalu dibutuhkan dialektika dan kesediaan untuk berproses bersama. Oleh karena itu, yang pertama mesti disiapkan adalah kuda-kuda sikap untuk saling mendengar dan memberi koreksi serta masukan sehingga pembuatan RUU ini bukan sekadar rongrongan idealisme di satu pihak atau resistensi di pihak lainnya. Yang penting adalah membangun visi yang satu: sinergi dan langkah bersama demi kesejahteraan ibu dan anak.
Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan yang komunikatif, dewasa, sekaligus empatik di antara semua pemangku kepentingan. Dibutuhkan kesediaan setiap pihak untuk melhat RUU ini dengan cara pandang yang lebih luas dan tidak parsial. Untuk bisa seperti itu, tidak ada cara lain selain dialog, kesediaan untuk saling mendengar, dan berpikir holistik.
Menata Peradaban
Selain isu cuti bagi istri dan suami, ada beberapa poin penting lain dalam RUU KIA. Misalnya, soal gaji selama cuti, hak ibu saat mengalami keguguran, hak-hak anak, hingga hak fasilitas bagi ibu dan anak. Soal cuti berikut ragam turunannya adalah soal yang paling mendapat atensi dari kalangan pengusaha. Dialektika yang terjadi berkisar pada soal beban perusahaan dengan hak ideal pekerja, khususnya pekerja berstatus ibu. Namun sebelum berkutat pada perdebatan partikular semacam itu, ada baiknya kita bersepakat terlebih dahulu pada rumusan besar dalam RUU tersebut. Setidaknya, ada tiga soal krusial yang perlu menjadi kesepahaman bersama terkait RUU ini.
Tiga soal tersebut merujuk pada apa yang telah dipaparkan di atas, yakni soal kesadaran bahwa urusan kesejahteraan ibu dan anak merupakan tanggung jawab tiga pihak (keluarga, negara, dan korporasi); soal upaya menyeimbangkan tanggung jawab atas kesejahteraan generasi penerus bangsa; serta soal penyediaan ruang-ruang terjaminnya kesejahteraan ibu dan anak.
Tumbuhnya kesadaran merupakan prasyarat bagi lahirnya will atau kehendak para pemangku kepentingan untuk turut serta menjamin kesejahteraan ibu dan anak. Pada gilirannya, secara otomatis, adanya kesadaran ini akan menyeimbangkan beban tanggung jawab yang selama ini hanya berada di pihak keluarga semata. Salah satu wujud dari skema penyeimbangan itu misalnya tersedianya sarana dan prasarana seperti daycare, ruang laktasi, tunjangan susu anak, dsb., sebagai pranata kesejahteraan ibu dan anak. Sementara di sisi regulasi, negara bisa segera menyediakan payung hukumnya.
Dengan demikian, isu kesejahteraan ibu dan anak tidak serta merta menjadi tuntutan terhadap negara dan pasar melainkan upaya membangun keadilan dan generasi yang cemerlang dalam visi menata peradaban. Ia haruslah menjadi kerja kolaboratif antara pemerintah, dunia usaha, warga masyarakat, dan keluarga. Semua pihak perlu berbagi peran, bersama-sama memikul tanggung jawab masa depan. Dalam kerangka semacam inilah RUU KIA diposisikan. Dalam pemikiran seperti inilah RUU KIA dirumuskan.***